Kamis, 27 Oktober 2016

Hukum Benda (Hak Cipta dan Contoh Kasus)




IMPLEMENTASI HUKUM BENDA
( HAK CIPTA )
MAKALAH

disusun untuk  memenuhi tugas Matakuliah Hukum Bisnis

Oleh :
                                    Yudha Alun P                        (140910202002)
Ratih Putri                            (140910202002)         
Tiara Gusti A.                       (140910202004)
Feraldi Insan                         (140910202005)
Ana Setyani                           (140910202006)
Ainur Rofi                             (140910202009)
Asrul                                       (140910202010)
Lilis Dwi I                              (140910202011)
 Nadya Hanum L                  (140910202012)
Ulfi Dwi S                              (140910202013)




PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI BISNIS
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2016





BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum  perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Hukum perdata mengatur hubungan antara pendudukatau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang,perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
            Dalam kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdapat beberapa bagian yaitu pada Buku II tentang Kebendaan yang mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi:
1.      benda berwujud yang tidak bergerak(misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu)
2.      benda berwujud yang bergerak, yaitu bendaberwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak.
3.      benda tidak berwujud (misalnya hak tagihatau piutang).
Hubungan Hukum antara seorang (subjek Hukum) dengan benda yang diatur dalam buku Ke-II Kitab Undang-undang Perdata menimbulkan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak untuk menguasai suatu benda di dalalm tangan siapapun juga benda itu berada, dengan demikian hak kebendaan bersifat mutlak dalam arti dapat dipertahankan dan berlaku terhadap siapapun juga dan setiap orang harus menghormatinya serta dalam hak kebendaan ini selalu ada hubungan langsung antara orang yang berhak dengan benda meskipun ada campur tangan dari pihak lain. Jumlah hak kebendaan bersifat terbatas dalam arti hanya ada hak-hak sepanjang yang sudah ditentukan oleh Undang-undang. Karenanya ketentuan yang terdapat dalam buku ke-II Kitab undang-undang Perdata umumnya bersifat Dwingenrechts (memaksa).
Dalam hukum kebendaan terdapat pelanggaran-pelanggaran yang harus diatasi yaitu pelanggaran hak cipta atau pembajakan. Pembajakan dan pelanggaran hak cipta tampaknya telah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Terkadang masyarakat sendiri tidak menyadari, bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah suatu bentuk pelanggaran hak cipta. Bahkan, kegiatan pelanggaran hak cipta seperti tindakan legal yang setiap orang boleh melakukannya. Di Indonesia seseorang dengan mudah dapat memfoto kopi sebuah buku, padahal dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan foto kopi dilakukan dan tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal, seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam hal penghormatan terhadap hak cipta.
1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah ini yaitu “Bagaimana implementasi hukum benda pada hak cipta?”
1.3 Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penulisan makalah ini yaitu mendeskripsikan implementasi hukum benda pada hak cipta.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Pengertian dan Tujuan Hukum
Menurut R. Soeroso, Pengertian Hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang yang berguna untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah, melarang dan memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting  dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Tujuan hukum mempunyai  sifat universal seperti  ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum  maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.

2.2    Bidang Hukum
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum publik, hukum perdata/hukum pribadi, hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.


2.3    Hukum Perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
  1. Hukum keluarga
  2. Hukum harta kekayaan
  3. Hukum benda
  4. Hukum perikatan
  5. Hukum waris
2.4     Hukum Benda
Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), benda dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPer. Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 61-62), suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang.
Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa adapun benda yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya, ialah tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak.
Dalam kamus hukum disebutkan pengertian hukum benda, yaitu:
Hukum benda adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan. Menurut Titik Triwulan Tutik, hukum benda adalah suatu ketentuan yang mengatur tentang hak-hak kebendaan dan barang-barang tak terwujud (immaterial). Hukum harta kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan: yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Hubungan hukum ini, melahirkan hak kebendaan (zakelijk recht) yakni yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak menguasai ssesuatu benda didalam tangan siapapun benda itu. Menurut titik tri wulan tutik mengemukakan pengertian hukum kekayaan relatif yang merupakan bagian dari hukum harta kekayaan, yaitu : ketentuan yang mengatur utang piutang atau yang timbul karena adanya perjanjian. Hukum harta kekayaan relatif disebut juga dengan hukum perikatan. Yaitu : hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang lain. Hubungan hukum ini menimbulkan hak terhadap seseorang atau perseorangan (personalijk recht), yakni hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk menuntut seseorang yang lain untuk berbuay sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Pembedaan berbagai macam kebendaan dalam hukum perdata berdasarkan perspektif kitab undang-undang hukum perdata. KUH perdata membeda-bedakan benda dalam berbagai macam:
a. Kebendaan dibedakan atas benda tidak bergerak (anroe rende zaken) dan benda bergerak (roerendes zaken) (pasal 504 KUH perdata).
b. Kebendaan dapat dibendakan pula atas benda yang berwujud atau bertubuh (luchamelijke zaken) dan benda yang tidak berwujud atau berubah (onlichme Lijke Zaken) (pasal 503 KUH perdata).
c. Kebendaan dapat dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) atau tak dapat dihabiskan (pasal 505 KUH perdata).


BAB 3

 IMPLEMENTASI HUKUM BENDA PADA HAK CIPTA


3.1 Pengertian dan Istilah Hak Cipta
            UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta . Perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
·         Pencipta
Dalam hukum hak cipta yang termasuk pencipta dalam UU no. 19 tahun 2002 tentang hak cipta.
 Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang dianggap sebagai Pencipta adalah:
a)      orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau
b)      orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.
Pasal  6
Jika suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.
Pasal  7
Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang  Ciptaan itu.
Pasal  8
1.      Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
3.      Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Pasal  9
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali j ika terbukti sebaliknya.
Pasal  10
1.      Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
2.      Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
3.      Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
4.      Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal  11
1.      Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
2.      Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
3.      Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
3.2 Lingkup Hak Cipta
3.2.1 Ciptaan yang dilindungi
            Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak  Cipta menetapkan secara rinci ciptaan yang dapat dilindungi, yaitu:
·         buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
·         ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
·         alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
·         lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
·         drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
·         seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
·         arsitektur;
·         peta;
·         seni batik;
·         fotografi;
·         sinematografi;
·         terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
3.2.2 Ciptaan yang tidak diberi Hak Cipta
            Sebagai pengecualian terhadap ketentuan di atas, tidak diberikan Hak Cipta untuk hal-hal berikut:
·         hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
·         peraturan perundang-undangan;
·         pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
·         putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
·         keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
3.3 Bentuk dan Lama Perlindungan
            Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali dengan seijin Pemegang Hak Cipta.Jangka waktu perlindungan Hak Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hing\ga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Namun demikian, pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan:
  • program komputer;
  • sinematografi;
  • fotografi;
  • database; dan
  • karya hasil pengalihwujudan
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
3.4 Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
3.4.1 Hak eksklusif
            Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
·           membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
·           mengimpor dan mengekspor ciptaan,
·           menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
·           menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
·           menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
                        Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta. Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”. Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya. Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
3.4.2 Hak ekonomi dan hak moral
                        Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut. Menurut konsep Hukum Kontinental (Prancis), “hak pengarang” (droit d'aueteur, author right ) terbagi menjadi “hak ekonomi” dan “hak moral” (Hutagalung, 2012). Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
3.5 Pelanggaran dan Sanksi Hak Cipta
Dengan menyebut atau mencantumkan sumbernya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta atas:
  • penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
  • pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
  • pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
    • ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
    • pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
  • perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
  • perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
  • perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
  • pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Selain itu, beberapa sanksi lainnya adalah:
  • Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta dipidana dengan dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
  • Memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3.6 Perolehan Hak Cipta
Setiap negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di Inggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor “keahlian, keaslian, dan usaha”. Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu, bila gagasan ciptaan sudah terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti lukisan, partitur lagu, foto, pita video, atau surat), pemegang hak cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun, walaupun suatu ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah. Pemegang hak cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
BAB 4
CONTOH KASUS PELANGGARAN HAK CIPTA

Kasus sengketa sepeda motor Tossa Krisma dengan Honda Karisma
Kasus ini berawal dari kesalahan penemu merek. Dilihat dengan seksama antara Krisma dan Karisma memiliki penyebutan kata yang sama. Tossa Krisma diproduksi oleh PT.Tossa Sakti, sedangkan Honda Karisma diproduksi oleh PT.Astra Honda Motor. PT.Tossa Sakti tidak dapat dibandingkan dengan PT.Astra Honda Motor (AHM), karena PT.AHM perusahaan yang mampu memproduksi 1.000.000 unit sepeda motor per tahun. Sedangkan PT.Tossa Sakti pada motor Tossa Krisma tidak banyak konsumen yang mengetahuinya, tetapi perusahaan tersebut berproduksi di kota-kota Jawa Tengah, dan hanya beberapa unit di Jakarta.
Permasalahan kasus ini tidak ada hubungan dengan pemroduksian, tetapi masalah penggunaan nama Karisma oleh PT.AHM. Sang pemilik merek dagang Krisma (Gunawan Chandra), mengajukan gugatan kepada PT.AHM atas merek tersebut ke jalur hukum. Menurut beliau, PT.AHM telah menggunakan merek tersebut dan tidak sesuai dengan yang terdaftar di Direktorat Merek Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Bahkan PT.AHM diduga telah menggunakan merek tidak sesuai prosedur, karena aslinya huruf Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam putih, sedangkan PT.AHM memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain huruf berwana. Akhirnya permohonan Gunawan Chandra dikabulkan oleh hakim Pengadilan Niaga Negeri.
Namun, PT.AHM tidak menerima keputusan dari hakim pengadilan, bahkan mengajukan keberatan melalui kasasi ke Mahkamah Agung. PT.AHM menuturkan bahwa sebelumnya Gunawan Chandra merupakan pihak ketiga atas merek tersebut. Bahkan, beliau menjiplak nama Krisma dari PT.AHM (Karisma) untuk sepeda motornya. Setelah mendapat teguran, beliau membuat surat pernyataan yang berisikan permintaan maaf dan pencabutan merek Krisma untuk tidak digunakan kembali, namun kenyataannya sampai saat ini beliau menggunakan merek tersebut.
Hasil dari persidangan tersebut, pihak PT.Tossa Sakti (Gunawan Chandra) memenangkan kasus ini, sedangkan pihak PT.AHM merasa kecewa karena pihak pengadilan tidak mempertimbangkan atas tuturan yang disampaikan. Ternyata dibalik kasus ini terdapat ketidakadilan bagi PT.AHM, yaitu masalah desain huruf pada Honda Karisma bahwa pencipta dari desain dan seni lukis huruf tersebut tidak dilindungi hukum.
Dari kasus tersebut, PT.AHM dikenakan pasal 61 dan 63 Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang merek sebagai sarana penyelundupan hukum. Sengketa terhadap merek ini terjadi dari tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2011, hal ini menyebabkan penurunan penjualan Honda Karisma dan pengaruh psikologis terhadap konsumen. Kini, PT.AHM telah mencabut merek Karisma tersebut dan menggantikan dengan desain baru yaitu Honda Supra X dengan bentuk hampir serupa dengan Honda Karisma.




DAFTAR PUSTAKA
Buku
Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Kansil, Cst.1982. Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia.Cetakan ke-8.Jakarta.Balai Pustaka
Tutik, Titik Tri Wulan.2006.Pengangtar Hukum Perdata di Indonesia.Jakarta.Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (Kdt).
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar